OPINI : Menjaga Tradisi Maulid di Kerinci: Potret Harmonisasi Budaya dan Agama
Oleh: Dr. Nicolas Habibi, MA, Dosen Bahasa Arab IAIN Kerinci
OPINI- Secara Bahasa, maulid berasal dari bahasa Arab maulid (مولد) yang berarti kelahiran. Dalam konteks keislaman, istilah ini merujuk pada peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang secara historis diyakini terjadi pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun Gajah. Perayaan Maulid dilakukan sebagai bentuk penghormatan, rasa cinta, dan syukur atas kelahiran Rasulullah -- manusia agung yang membawa risalah Islam dan mengubah peradaban manusia dengan akhlaknya yang mulia.Meskipun peringatan Maulid tidak dilakukan pada masa Nabi atau para sahabat secara formal, ulama dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah membolehkan tradisi ini selama tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam praktiknya, Maulid menjadi momen untuk memperkuat kecintaan kepada Rasul, meneladani akhlaknya, dan mempererat ukhuwah di tengah masyarakat.
Peringatan Maulid secara resmi pertama kali dikenal pada masa Dinasti Fathimiyah di Mesir sekitar abad ke-11 M, namun bentuk Maulid yang lebih umum dan edukatif dikembangkan oleh ulama di masa Dinasti Ayyubiyah. Salah satu tokoh pentingnya adalah Imam Al-Barzanji, yang menulis kitab berjudul Maulid Al-Barzanji, sebuah narasi pujian dan kisah hidup Rasulullah yang dibacakan dalam banyak peringatan Maulid hingga kini. Tradisi Barzanji ini senantiasa dihidupakan dalam setiap perayaan maulid Nabi Muhammad sampai saat ini.
Di Nusantara, tradisi Maulid dibawa oleh para wali dan ulama, dan berkembang dalam nuansa lokal di berbagai daerah. Di sinilah Islam memperlihatkan fleksibilitasnya: mampu beradaptasi dengan budaya tanpa kehilangan nilai dasarnya. Begitu pula di Kerinci, Jambi, yang merayakan Maulid dengan kekhasan tersendiri. Di tengah hijaunya hutan dan pegunungan Kerinci, masyarakat setempat masih memelihara peringatan Maulid Nabi sebagai bagian dari warisan religius sekaligus budaya. Maulid tidak sekadar ritual tahunan, melainkan momen spiritual yang mengakar dalam kehidupan sosial warga.
Dari sudut pandang agama, Maulid adalah sarana mendekatkan diri kepada Allah melalui pujian dan cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Di Kerinci, peringatan ini biasanya diisi dengan pembacaan sholawat, tausiyah agama, dan kajian tentang perjalanan hidup Rasul. Tidak jarang juga, sekolah-sekolah madrasah dan pondok pesantren mengangkat tema keteladanan Rasul sebagai bahan pembelajaran karakter.
Maulid menjadi cara membumikan ajaran Rasul dalam konteks kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, kepemimpinan, dan kasih sayang ditegaskan kembali sebagai pondasi moral generasi muda. Di Kerinci, peringatan Maulid selalu melibatkan unsur budaya lokal. Masyarakat gotong royong menyiapkan makanan, menghias masjid, dan saling berbagi dalam suasana kekeluargaan. Bahasa daerah kadang digunakan dalam sambutan atau doa, memperkuat rasa memiliki terhadap tradisi ini.
Maulid juga menjadi ajang silaturahmi lintas generasi—dari anak-anak hingga orang tua, dari tokoh agama hingga tokoh adat. Ini menunjukkan bahwa Maulid adalah bagian dari jati diri masyarakat, bukan sekadar upacara formal, tapi ruang bersama yang memperkuat kohesi sosial dan kebudayaan. Di tengah tantangan globalisasi dan modernisasi, peringatan Maulid justru semakin relevan. Tradisi ini mengajarkan nilai-nilai moral yang semakin langka: keteladanan, kesabaran, pengorbanan, dan kebersamaan. Dalam dunia yang cenderung individualistik, Maulid hadir sebagai penyeimbang—menghidupkan kembali nilai kemanusiaan dan spiritualitas.
Tradisi Maulid di Kerinci adalah contoh nyata bagaimana agama dan budaya dapat berjalan beriringan, saling menguatkan dalam harmoni. Maulid bukan hanya tentang mengenang kelahiran Nabi, tetapi tentang menghidupkan ajarannya dalam kehidupan bermasyarakat, sekaligus merawat akar budaya yang memperkuat identitas lokal. Dengan semangat kebersamaan, cinta Rasul, dan pelestarian tradisi, Maulid di Kerinci telah menjadi lebih dari sekadar peringatan—ia adalah warisan hidup yang menghidupkan ruh Islam dan budaya dalam satu tarikan napas.
“Mencintai Rasul bukan hanya dengan lisan, tetapi dengan menjaga ajarannya
tetap hidup dalam perbuatan dan tradisi yang bermakna.”