Pengakuan Mengejutkan di Sidang Suap RAPBD Jambi, Aktivis Desak KPK Seret Nama H Andi ke Kursi Tersangka
Pengusaha muda asal Kerinci itu bahkan tidak menampik bahwa uang tersebut diberikan untuk memperoleh tiga paket proyek dengan nilai miliaran rupiah. Pengakuan di bawah sumpah itu sontak menimbulkan tanda tanya besar, sekaligus memperkuat dugaan keterlibatan kontraktor dalam skandal “ketok palu” yang selama ini lebih banyak menjerat pejabat eksekutif dan legislatif.
PT Air Tenang selama ini dikenal sebagai pemain besar di sektor konstruksi Jambi. Rekam jejak perusahaan ini kerap terlihat dalam proyek-proyek strategis yang bersumber dari APBN maupun APBD, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Namun di balik keberhasilan memenangkan tender, kini muncul dugaan kuat bahwa praktik gratifikasi menjadi jalan pintas dalam meraih proyek.
Sejumlah sumber penegak hukum menyebut, pengakuan Andi tersebut bisa menjadi pintu masuk bagi KPK untuk menelusuri jaringan kontraktor yang turut “bermain” dalam suap pengesahan RAPBD Jambi. “Kalau pengakuannya benar, maka uang Rp1,1 miliar itu jelas bukan sekadar gratifikasi biasa, tapi bagian dari skema suap berjamaah,” ungkap Jul, salah seorang aktivis Kerinci.
Kasus suap RAPBD Jambi sendiri sudah menyeret banyak nama sejak pertama kali terbongkar pada 2018. Mantan Gubernur Zumi Zola bahkan divonis bersalah karena terbukti memberi uang pelicin kepada anggota DPRD agar RAPBD disahkan. Meski begitu, fakta-fakta baru dari keterangan saksi di persidangan belakangan ini memperlihatkan masih adanya aktor lain yang belum tersentuh hukum.
Di Kerinci, sejumlah aktivis langsung bereaksi keras. Mereka menilai KPK tidak boleh menutup mata atas pengakuan Andi yang jelas-jelas mengakui praktik suap. “Kalau KPK konsisten, harusnya Andi Putra Wijaya segera ditetapkan sebagai tersangka. Jangan sampai hukum dipertontonkan hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” tegasnya.
Desakan itu semakin nyaring disuarakan oleh organisasi masyarakat sipil. Mereka menilai integritas penegakan hukum sedang diuji. “Publik menunggu keberanian KPK. Jangan biarkan kasus ini berhenti di ruang sidang. Uang Rp1,1 miliar itu harus ditelusuri alirannya,” ujar salah satu tokoh ormas.
Bagi sebagian kalangan, pengakuan Andi Putra Wijaya menjadi bukti betapa praktik politik uang telah mendarah daging dalam proses penganggaran daerah. Proyek pemerintah seolah menjelma menjadi komoditas politik, diperdagangkan untuk kepentingan segelintir orang.
Kini, semua perhatian tertuju pada langkah KPK. Apakah lembaga antirasuah itu berani menyeret nama baru ke kursi tersangka, atau justru membiarkan pengakuan tersebut berlalu tanpa tindak lanjut.(qhy)
